Senin, 21 Juni 2010

KB dalam Pandangan Gereja Katolik

Gereja Katolik memandang program KB dapat diterima. Namun, cara melaksanakannya harus diserahkan sepenuhnya kepada tanggung jawab suami-istri, dengan mengindahkan kesejahteraan keluarga.
Geraja Katolik menyatakan bahwa KB pertama-tama harus dipahami sebagai sikap tanggung jawab. Soal metode, termasuk cara pelaksanaan tanggung jawab itu, umat Katolik harus senantiasa bersikap dan berperilaku penuh tanggung jawab. Pelaksanaan pengaturan kelahiran harus selalu memperhatikan harkat dan martabat manusia serta mengindahkan nilai-nilai agama dan social budaya yang berlaku dalam masyarakat.”
Pandangan Gereja Katolik tentang KB itu disampaikan Romo Jeremias Balapito Duan MSF, sekretaris eksekutif Komisi Keluarga Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), dalam buku berjudul “Membagun Keluarga Sejahtera dan Bertanggung Jawab Berdasarkan Perspektif Agama Katolik”. Buku ini diterbitkan Komisi Keluarga KWI bersama BKKBN dan UNFPA (Dana Kependudukan Dunia).
Sejauh ini Gereja Katolik menganjurkan umat melaksanakan program KB dengan cara pantang berkala (tidak melakukan persetubuhan saat masa subur). “Para uskup Indonesia mendukung ajaran Paus dengan memberi anjuran hendaknya metode alamiah (KB Alamiah-pantang berkala) beserta segala perbaikannya lebih diperkenalkan dan dianjurkan,” ujar Romo Jeremias mengutip pedoman Pastoral keluarga tahun 1975 No.26.
Paus Paulus VI pernah menyatakan, ajaran gereja “berdasarkan kaitan tak terceraikan yang dikehendaki oleh Allah dan karena itu tidak dapat dibatalkan oleh manusia atas prakarsanya sendiri antara kedua makna tindakan perkawinan, yakni arti ‘pemersatu’ dan arti ‘prokerasi’.”
Namun, manakala umat Katolik tidak dapat melaksanakan cara tersebut (KB alamiah), padahal mereka juga ingin mengatur kelahiran, apa yang harus mereka lakukan? Menurut Romo Jeremias, Gereja Katolik menyadari sepenuhnya berbagai kesulitan yang dihadapi keluarga Katolik dalam usaha mengatur kelahiran.
Dalam keadaan demikian, mereka bisa bertindak secara tanggung jawab dan tidak perlu merasa berdosa apabila menggunakan cara lain. Asal, cara tersebut tidak merendahkan martabat suami atau istri, tidak berlawanan dengan hidup manusia (pengguguran dan pemandulan), dan dapat dipertanggungjawabkan secara medis,” tambah Romo Jeremias.
Dalam Ensiklik dijelaskan, untuk mengatur keluarga, kelahiran, jumlah dan waktu kelahiran anak, gereja menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada suami-istri.

Letak kesulitan
Memang, Gereja Katolik membedakan dengan jelas antara prinsip tanggung jawab dalam hal prokreasi dan metode KB sebagai cara pelaksanaan tanggung jawab tersebut. Pimpinan Gereja Katolik membenarkan prinsip tanggung jawab tersebut. Namun, dalam pelaksanaannya membedakan antara metode KB Alamiah yang dibenarkan dan metode kontraseptif yang tidak dibenarkan.
”Dengan jujur harus disimpulkan, disinilah letak kesulitan bagi kalangan Katolik atau orang Katolik yang berkehendak baik dan bersedia mengindahkan ajaran gereja untuk memahami posisi gereja,” ujar Romo Jeremias.
Namun begitu, dalam Ensiklik (No.10) dinyatakan, bahwa orang tua dapat mengambil keputusan yang telah dipertimbangkan secara tulus ikhlas mau memelihara keluarga yang besar; atau juga karena alasan-alasan yang berat, tetapi dengan tetap penuh hormat menaati hukum moral, mau menghindarkan kelahiran baru untuk sementara waktu atau waktu yang tak ditentukan lamanya.
Dari sabda Ensiklik maupun Konsili jelas umat Katolik juga mempunyai tugas mengatur kelahiran untuk membangun kesejahteraan keluarga dan demi kepentingan negara. Namun, bukan orang lain atau negara yang boleh menentukan jumlah anak. Cara-cara mengatur kelahiran harus diputuskan oleh suami-istri sendiri. (sancoyo r)

sumber: BKKBN online
Oleh redaksi pada Kam, 09/11/2008 - 10:41.

Kasus Pelecehan dalam Gereja Katolik Terus Bermunculan

Paus Benediktus XVI
TERKAIT:

* Jerman Bentuk Panel untuk Periksa Kasus Pelecehan
* Paus Terbitkan Surat Pastoral Tentang Kasus Pelecehan di Irlandia
* Paus Benediktus Prihatin terhadap Skandal Gereja Irlandia
* Gereja Berada di Jantung Skandal Pelecehan

WASHINGTON, KOMPAS.com — Pengungkapan terbaru dugaan penutup-nutupan kasus paedofilia dalam Gereja Katolik menimpa Paus Benediktus XVI, Rabu (24/3/2010) malam.

Harian The New York Times yang mendapat dokumen dari gereja lokal di AS melaporkan, kasus terbaru itu berkaitan dengan seorang pastor di AS yang dikenal dengan nama Murphy yang dituduh menganiaya hingga 200 bocah tuli. Dokumen itu, yang muncul sebagai bagian dari perkara pelecehan di seputar sekolah khusus anak-anak tuli di Negara Bagian Wisconsin, memperlihatkan korespondensi langsung dari tersangka (kasus itu) dengan Kardinal Joseph Ratzinger pada 1996. Joseph Ratzinger adalah nama asli Paus Benediktus XVI.

Menurut Times, pengadilan terhadap Murphy dihentikan setelah dia menulis surat langsung kepada Ratzinger untuk memprotes kemungkinan hukuman atas kasus pelecehan. "Saya hanya ingin hidup dalam waktu yang tersisa dalam martabat imamat saya," tulis Murphy kepada Ratzinger, menurut dokumen tersebut. "Saya meminta bantuan Anda dalam persoalan ini."

Dokumen itu tidak memiliki tanggapan dari Ratzinger. Menurut Times, Murphy meninggal dua tahun kemudian sebagai pastor. Murphy bekerja di sekolah itu dari 1950 hingga 1974. Dokumen-dokumen di gereja Wisconsin, kata Times, menunjukkan bahwa tiga uskup pengganti di negara bagian itu telah diberi tahu bahwa Murphy melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak. Namun, kasus itu tidak pernah dilaporkan kepada pihak berwajib.

Kasus itu muncul ke permukaan di tengah penyingkapan sejumlah skandal pelecehan seksual yang melibatkan para imam Gereja Katolik di sejumlah negara, termasuk Irlandia, Austria, Belanda, dan Swiss. Paus telah meminta maaf atas pelecehan seksual yang dilakukan sejumlah pastor di Irlandia dalam sebuah surat. Namun, menurut korban, langkah itu belum cukup untuk mengatasi skandal tersebut.

Skandal-skandal itu juga telah mendekati Paus sendiri. Dalam sebuah kasus di negara asalnya di Jerman, Dioses Munich dan Freising mengatakan baru-baru ini bahwa Ratzinger, ketika menjadi uskup di sana, pada 1980 menyetujui untuk memberi tumpangan kepada seorang pastor yang diduga melakukan pelecehan saat pastor itu menjalani terapi.

sumber: Kamis, 25 Maret 2010 | 12:25 WIB
http://internasional.kompas.com/read/2010/03/25/12255480/Kasus.Pelecehan.dalam.Gereja.Katolik.Terus.Bermunculan

Jumat, 18 Juni 2010

St. Elizabeth Ann Seton

"Moeder Seton" demikianlah orang mengenalnya ketika ia wafat pada tanggal 4 Januari 1821 di Emmitsburg, Maryland. Suatu perjalanan hidup yang penuh dengan kejutan telah menghantarnya untuk menyandang gelar itu.
Elizabeth dilahirkan di kota New York pada tanggal 28 Agustus 1774. Ayahnya, Richard Bayley, adalah seorang dokter yang tersohor. Ibunya, Katarina, meninggal dunia ketika ia masih amat muda. Elizabeth seorang jemaat Episcopal (Gereja Anglikan di Amerika Serikat dan Skotlandia). Semasa remajanya, ia melakukan banyak hal untuk menolong orang-orang miskin. Pada tahun 1794, Elizabeth menikah dengan William Seton. William adalah seorang saudagar kaya-raya yang memiliki suatu armada kapal laut. Elizabeth, William, beserta kelima anak mereka hidup berbahagia. Tetapi, tiba-tiba saja, William jatuh bangkrut dan sakit parah dalam waktu yang singkat. Elizabeth mendengar bahwa cuaca Italia mungkin dapat membuat keadaan suaminya lebih baik. Maka, Elizabeth, William berserta puteri tertua mereka, Anna, melakukan perjalanan ke Italia dengan kapal laut. Tetapi, William meninggal dunia tak lama kemudian. Elizabeth dan Anna untuk sementara waktu tetap tinggal di Italia sebagai tamu keluarga Filicchi. Keluarga Filicchi amat baik hati. Mereka berusaha meringankan penderitaan Elizabeth dan Anna dengan membagikan cinta mereka yang mendalam akan iman Katolik. Elizabeth pulang kembali ke New York dengan tekad bahwa ia akan menjadi seorang Katolik. Keluarga serta teman-temannya menentang Elizabeth. Mereka amat kecewa mendengar keputusannya, tetapi Elizabeth maju terus dengan berani. Ia bergabung dalam Gereja Katolik pada tanggal 4 Maret 1805.
Beberapa tahun kemudian, Elizabeth dimintai tolong untuk datang serta membuka sebuah sekolah putri di Baltimore. Di sanalah Elizabeth memutuskan untuk hidup sebagai seorang biarawati. Banyak wanita yang datang untuk bergabung dengannya, termasuk saudarinya dan juga saudari iparnya. Puteri-puterinya sendiri, Anna dan Katarina, juga bergabung pula. Mereka membentuk Suster-suster Putri Kasih Amerika dan Elizabeth diangkat sebagai pemimpin mereka dan dipanggil “Moeder Seton”. Elizabeth menjadi terkenal. Ia mendirikan banyak sekolah Katolik dan beberapa rumah yatim piatu. Ia juga merencanakan untuk mendirikan sebuah rumah sakit yang kemudian diresmikan setelah wafatnya. Elizabeth suka menulis dan ia juga menerjemahkan beberapa buku pegangan dari bahasa Perancis ke bahasa Inggris. Tetapi, Elizabeth jauh lebih dikenal oleh karena kebiasaannya mengunjungi mereka yang miskin dan sakit. Elizabeth dinyatakan kudus oleh Paus Paulus VI pada tanggal 14 September 1975.

Jika sesuatu yang telah terjadi mengubah hidup kita dari suka menjadi duka, marilah kita berpaling kepada Tuhan seperti yang dilakukan oleh Moeder Seton, serta memohon pertolongan-Nya. Tuhan membantu kita untuk melihat bagaimana saat-saat yang sulit dapat memunculkan bakat-bakat kita yang terpendam. Kemudian kita akan melakukan sesuatu yang tidak pernah terpikirkan oleh kita sebelumnya.

St. Basilius Agung & St. Gregorius dari Nazianze


Basilius dan Gregorius dilahirkan di Asia Kecil pada tahun 330. Sekarang daerah tersebut dikenal dengan nama Turki. Keluarga Basilius: nenek, ayah, ibu, dua saudara serta seorang saudarinya semuanya adalah orang kudus. Sedangkan orangtua Gregorius adalah St. Nonna dan St. Gregorius Tua. Basilius dan Gregorius saling bertemu dan menjadi sahabat karib di sekolah di Athena, Yunani.
Basilius kemudian menjadi seorang guru yang tersohor.

Suatu hari, saudarinya yaitu St. Makrina, menyarankan agar
ia menjadi seorang biarawan. Basilius mendengarkan nasehat baik saudarinya, pergi ke tempat yang sunyi dan di sana mendirikan biaranya yang pertama. Regula (=peraturan biara) yang ditetapkannya bagi para biarawannya amatlah bijaksana. Biara-biara Gereja Timur masih menerapkannya hingga saat ini.
Keduanya, Basilius dan Gregorius, menjadi imam dan kemudian Uskup. Mereka dengan berani berkhotbah menentang bidaah Arianisme yang menyangkal bahwa Yesus adalah Tuhan. Ajaran sesat ini membingungkan banyak orang. Ketika menjadi Uskup Konstantinopel, Gregorius mempertobatkan banyak orang dengan khotbah-khotbahnya yang mengagumkan. Hal itu membuatnya hampir saja kehilangan nyawanya. Seorang pemuda berencana untuk membunuhnya. Pada saat-saat terakhir, pemuda tersebut bertobat serta memohon pengampunan dari Gregorius. St. Gregorius sungguh mengampuninya serta membawanya ke jalan yang benar dengan kelemahlembutan serta kebaikan hatinya.


Empatpuluh empat khotbah St. Gregorius, 243 suratnya, serta banyak puisinya kemudian diterbitkan. Buah penanya masih amat penting hingga saat ini. Banyak penulis mendasarkan karya-karya mereka pada buah penanya itu.
Basilius, sahabat Gregorius, seorang yang amat lembut serta murah hati. Ia selalu menyediakan waktu untuk menolong kaum miskin papa. Ia bahkan mendorong orang-orang miskin itu untuk menolong mereka yang lebih miskin dari mereka sendiri. “Berikanlah makanan terakhirmu kepada pengemis yang mengetuk pintumu,� desaknya, “dan percayalah akan belas kasihan Tuhan.� Basilius menyumbangkan segala miliknya dan membuka sebuah dapur umum. Di sana orang sering melihatnya mengenakan celemek dan melayani mereka yang lapar. Basilius wafat pada tahun 379 dalam usia empatpuluh sembilan tahun. Sementara Gregorius wafat pada tahun 390 dalam usia enampuluh tahun. Ia dimakamkan di Basilika St. Petrus di Roma.


Kita tidak akan pernah menyesal mempergunakan pengetahuan, waktu, serta bakat-bakat kita untuk membantu orang-orang di sekitar kita semakin dekat dengan Tuhan.


Followers